no-style

Sejarah Bekasi Front Garis Depan Pertahanan Tentara Republik Melawan Tentara Sekutu Pada Perang Kemerdekaan

, 1/30/2023 WIB Last Updated 2024-01-12T07:26:53Z
Bekasi di Zaman Perang Kemerdekaan


Kota Bekasi menjuluki dirinya sebagai Kota Patriot.


Julukan Kota Patriot memang pantas disandang Bekasi melihat adanya peristiwa perjuangan pejuang Indonesia pada masa perang revolusi kemerdekaan melawan Belanda dan Sekutu.


Lima bilah bambu runcing yang berdiri tegak dalam lambang Kota Bekasi adalah simbol kepahlawanan tersebut.


Sementara itu, Kabupaten Bekasi dalam lambangnya menampilkan sebilah golok teracung, seakan mengirim pesan bahwa tanah Bekasi adalah tanah jawara.


Orang mungkin akan teringat Kota Surabaya, dengan Peristiwa 10 Novembernya, apabila memperbincangkan soal kisah-kisah kepahlawanan mempertahankan kemerdekaan.


Namun, tak banyak yang tahu, Bekasi juga menyimpan kisah epik kepahlawanan serupa.


Tentara Soviet mengibarkan bendera Uni Soviet di atas Gedung Reichstag Jerman selama Pertempuran merebut Berlin











Pasca Perang Dunia II Nazi Jerman, Italia, Jepang dan Negara-negara Sekutu Axis atau Poros telah kalah dan menyerah kepada Pasukan Uni Soviet, Sekutu Eropa dan Amerika.


Bermula dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda langsung mengirimkan serdadu Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang membonceng sekutu Inggris demi merebut kembali bekas tanah jajahan mereka yaitu Indonesia.


Upaya menjajah kembali Nusantara bukan hanya meluncur di meja-meja diplomasi.


Belanda tak segan melancarkan agresi-agresi militer serta pembantaian demi pembantaian rakyat sipil.


Perlawanan dilakukan Belanda dengan barisan pemuda di Jakarta pada akhir 1945 dan merembet ke timur atau ke arah Bekasi pada 1946.


Awal tahun 1946, Jakarta ibukota Republik Indonesia sudah direbut dan dikuasai pihak Belanda dan Sekutu.


Kondisi darurat ini akhirnya memaksa Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memindahkan ibukota dan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.


Di lain sisi, Jakarta sudah ditetapkan sebagai kota diplomasi oleh Perdana Menteri Sjahrir.


Tentara Keamanan Rakyat Pasukan Republik Pada Era Perang Kemerdekaan


Sehingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diperintahkan mundur keluar dari Jakarta.


Tentara Indonesia sudah ada di luar Jakarta. Persebarannya paling banyak di sisi timur Jakarta:


Bekasi, Cikarang, Cikampek, Karawang.


Sekutu berusaha ingin menguasai Jawa Barat melalui jalur pantai utara.


Untuk merebut seluruh wilayah Indonesia, maka sekutu harus melakukan perebutan kekuasaan dan harus berperang dengan Tentara Republik.


Pada gilirannya, karena berdampingan langsung dengan Jakarta yang sudah dikuasai Belanda dan Sekutu, Bekasi menjadi front terdepan medan pertempuran Tentara Republik dengan Belanda meskipun Pusat Komando Tentara Republik ada di Karawang.


Front terdepan Bekasi ini merupakan tempat para pejuang Republik Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya.


Sementara Karawang termasuk garda belakang dalam menjaga kokohnya lini pertahanan


Selain itu, para pejuang tidak hanya berisi tentara dari Bekasi saja, melainkan juga tentara dari daerah lain.


"Ada juga kiriman-kiriman dari Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Garut mereka bergantian menjaga pertahanan, kalau Bekasi bobol, maka Republik Indonesia bobol. Logikanya seperti itu" tandasnya


Itu sebabnya Bekasi disebut sebagai Kota Patriot.


"Patriot karena front garis pertempuran terdepan," ujar Ali Anwar Sejarawan Bekasi.


Bekasi pada masa revolusi 1945-1949 menjadi salah satu konsentrasi perlawanan rakyat kala itu, terlebih tindakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook yang membuat garis demarkasi van Mook yang menyebabkan perpecahan bangsa.


Daerah lain direbut Belanda dalam sekejap, Bekasi butuh 2 tahun


Belanda dan Sekutu begitu bersyahwat dan berambisi menundukkan Bekasi.


Menggenggam Bekasi, dalam anggapan Belanda, sama artinya dengan menguasai benteng pertama pertahanan Republik Indonesia untuk selanjutnya merebut titik-titik pertahanan strategis lainnya yaitu:


Karawang, Subang, dan Purwakarta.


Misi mereka untuk menguasai wilayah pertanian dan perkebunan, bukan sekadar menguasai wilayah.


Kalau sampai Juli 1947 mereka gagal menguasai Bekasi, Karawang, Subang, dan Purwakarta, kemungkinan tentara Sekutu dan Belanda di Jakarta kehabisan suplai logistik dan kelaparan.


"Jadi, penaklukkan Bekasi itu juga untuk merebut wilayah-wilayah penghasil beras dan menguasai suplai logistik,” ujar Ali.


Banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Misalnya Pertempuran di Jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi yang dipimpin oleh tokoh karismatik Kiai Haji (KH) Noer Ali.


Pertempuran ini bermula pada jumat 23 November 1945, saat itu Pesawat Dakota yang membawa sekitar 25 anggota militer sekutu mendarat darurat di wilayah Rawa Gatel, Cakung. Cakung ketika itu masih masuk wilayah Bekasi.


Melihat ada pesawat jatuh, masyarakat sekitar mencoba mendatangi lokasi kejadian.


Namun tentara Inggris yang merasa lokasi ini merupakan wilayah kekuasaan Indonesia menjadi tertekan dan menembak ke arah masyarakat.


Geriliyawan pun murka atas perlakukan tentara Inggris. Terjadilah pertempuran singkat yang membuat tentara Inggris menyerah lantaran kalah jumlah.


Mereka kemudian menyerah dan disandera oleh para geriliyawan.


Pihak sekutu yang mendengar berita penyanderaan ini lantas geram. Mereka kemudian mengirimkan pasukan untuk mengecek pasukan di lokasi jatuhnya pesawat.


Para tentara Inggris ini lantas menyisir rumah-rumah warga untuk mencari temannya.


Tetapi di tengah penyisiran, para tentara Inggris dikejutkan dengan serangan para perjuangan yang menggunakan parang dan pedang.


Pertempuran terjadi sehingga menyebabkan puluhan korban dari pihak pejuang dan satu tewas dari pihak Inggris.


Berita ini lantas didengar oleh Panglima Tertinggi Sekutu di Indonesia Jenderal Philip Christison.


Dirinya marah besar dan menuntut para tahanan dibebaskan dan dikembalikan ke Jakarta.


Pihak Indonesia tak bisa berbuat banyak, karena memang tahanan ketika itu sudah terbunuh dan meninggal dunia semua.


Kejadian ini membuat Presiden Soekarno datang ke Bekasi dan melihat kondisi secara langsung


Pihak Sekutu mulai menerjunkan kekuatan penuh sejak 29 November 1945. Selain membawa senjata, mereka juga membawa jerigen berisi minyak untuk membakar habis Bekasi.


Para pejuang Bekasi sudah mendengar akan penyisiran itu lalu lebih dahulu pergi dari rumah.


Tetapi pertempuran tetap terjadi di berbagai front, misalnya di Cakung yang mengakibatkan jatuhnya korban dari dua belah pihak.


Dari pihak Indonesia terhitung 13 orang tewas. Lantas Sekutu berusaha menusuk jantung pertahanan Bekasi.


Namun, di Kampung Rawa Pasung, mereka dihadang Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Barisan Benteng, Republik Indonesia (BRRI), Laskar Rakyat (LR), dan Pasukan Pencak Silat (PS).


Merasakan sulitnya menembus pertahanan sampai kota Bekasi, Sekutu mundur dengan membawa pasukannya yang telah menjadi korban.


Namun, begitu tiba di Pondok Ungu, mereka harus berhadapan dengan pasukan Batalyon III Hizbullah pimpinan KH Noer Ali.


KH. Noer Ali Pahlawan Nasional dari Bekasi


KH Noer Ali "Singa Kerawang Bekasi"


KH Noer Ali Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.


Kyai Kharismatik pejuang Kemerdekaan yang malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya.


Di situlah KH Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh.


KH Noer Ali selalu bisa lolos dan menghilang ketika ditangkap belanda.


Sebagai Kiai yang memiliki berbagai Karomah, KH Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat ruhani, jiwa dan mental anak buahnya.


Banyak pasukan dan murid-muridnya dikenal kebal peluru karena amalan wirid, ratibnya dll.


Beberapa meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak.


Beliau juga sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya, hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat Tionghoa yang Non Muslim dari penjajah Belanda.


Pada 9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional.


Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.


Pasukan Hizbullah Pejuang Perang Kemerdekaan


Pada awalnya tentara Sekutu terdesak oleh serangan mendadak pasukan Batalyon Hizbullah.


Namun tidak sampai satu jam kemudian, tentara Sekutu yang bersenjata lengkap menyerang.


Pasukan Hizbullah KH Noer Ali memutuskan untuk mundur sampai jembatan Sasak Kapuk.


Pertempuran ini telah menimbulkan banyak korban, total sekitar 30 pasukan Hizbullah jadi korban.


Gempuran-gempuran mortir dan artileri Inggris memaksa pasukan KH Noer Ali mundur ke Utara.


Pasukan Hizbullah


Pasukan Inggris kembali ke Jakarta setelah melihat pasukan Republik mundur.


Pada 13 Desember, kembali konvoi pasukan Inggris dengan jumlah yang lebih besar merangsek lagi ke Bekasi.


Sekutu mengerahkan lebih dari 1 batalion infanteri yang dibantu artileri, berpuluh panser lapis baja dan pesawat Heuwitse,76 truk serdadu India bersenjata modern.


Sekutu menyerang melalui Cakung, namun gagal. Tentara Inggris lantas menerobos melalui Pondok Gede yang melanggar garis demarkasi.


Tank-tank mereka merangsek sampai Bekasi, korban jiwa pun tak terhindarkan dalam pertempuran ini.


Ribuan permukiman warga dibakar api. Bekasi secara sekejap berubah menjadi lautan api.


Pasukan Sekutu Membakar Pemukiman Sipil Bekasi


Puluhan warga sipil dipaksa mengungsi ke luar kota dalam peristiwa yang dikenal sebagai Bekasi Lautan Api.


Bedasarkan laporan KNID Bekasi terdapat 14 orang luka, 641 keluarga dengan 3379 jiwa telah kehilangan tempat tinggal. Tugu alun-alun Kota Bekasi menjadi saksi bisu para korban jiwa dalam pertempuran ini.


“Pembakaran, pengeboman dari mulai alun-alun Bekasi sampai Kranji, Teluk Buyung, Teluk Pucung, Bulak Kapal, bahkan sampai ke Lemah Abang dan Karawang,” kata Sejarawan Ali Anwar dalam bukunya Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi.


Warga Bekasi yang mengungsi akibat aksi pembakaran Sekutu ke Pemukiman Sipil


Dilansir dari Historia, Inggris selaku pemegang kendali di Asia Tenggara langsung mendapat tekanan internasional akibat tragedi aksi pembakaran tersebut.


Sejumlah Surat Kabar Mancanegara melansir kecaman atas tindakan Christison itu.


Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara Laksamana Lord Louis Mountbatten pun menyesali tindakan Christison.


Ketika itu Christison mengklaim mendapat persetujuan dari HFC Walsh, penasihat politik Mountbatten, mengenai operasi pembakaran habis daerah Bekasi.


“Tetapi Mountbatten merespons bahwa peristiwa itu sangat disesalkan dan jika dia diberitahu lebih awal mungkin tak semestinya terjadi,” tulis Richard McMillan dalam buku The British Occupation of Indonesia 1945-1946.


Perdana Menteri Sutan Sjahrir langsung memprotes keras pembakaran dan pembumihangusan Bekasi.


Menurutnya tindakan yang dilakukan oleh pihak Sekutu telah melampaui batas.


Dirinya bahkan menyamakan tindakan ini dengan pasukan Jerman yang membantai permukiman di Desa Lidice, Republik Ceko.


“Maka dari itu pemerintah mengajukan protes terhadap tindakan-tindakan ini,” kata Sjahrir dalam pidatonya pada 19 Desember 1945 yang disiarkan Berita Republik Indonesia tahun II Nomor 4-5.


Ali Anwar menyatakan, Bekasi punya keistimewaan tersendiri dibandingkan daerah-daerah lain sehingga layak dinobatkan sebagai Kota Patriot.


Hanya untuk menguasai Bekasi, Belanda dan Sekutu menghabiskan waktu hingga kurang lebih 2 tahun. “Bayangkan, April 1946, Belanda sudah bisa masuk ke Bandung, dengan sebelumnya lewat Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Tapi, bulan Juni 1946, Belanda cuma baru menguasai wilayah yang awalnya dari Kali Cakung, sampai ke Kali Bekasi,” jelas Ali.


Serangan Belanda secara bertubi-tubi pada 10 Juni 1946 sedikit-banyak menyobek front terdepan pertahanan Bekasi di Kali Cakung sampai sebelah barat Kali Bekasi.


Untuk membendung ekspansi pasukan Belanda, pejuang Bekasi memutus jembatan jalan raya Kali Bekasi tiga hari berselang.


Perjanjian Linggarjati kemudian menggeser tapal batas Bekasi, mundur dari Kali Bekasi ke Kali Ciketing, Sasak Jarang, sebelah timur Bulak Kapal.


Itu terjadi pada Maret 1947. Di sisi lain, sistem pertahanan yang kalah canggih dibandingkan Belanda membuat para pejuang Bekasi terus terdesak mundur


Nyaris selama 2 tahun bertempur dengan segala daya dan upaya, pertahanan Bekasi mulai keropos ketika Laskar Rakyat Jakarta Raya, yang mulanya berbagi barak dengan tentara Indonesia, malah memberontak dan berkhianat.


Pemberontakan yang menjalar dari Tambun sampai Karawang itu meletus pada 1947 dan menimbulkan perang saudara. Anggota laskar kemudian didepak; sebagian besar melarikan diri ke Jakarta.


Saat kekuatan Indonesia mengendur akibat pemberontakan itu, Belanda melancarkan agresi militer pertamanya pada 21 Juli 1947.


Pertahanan Bekasi akhirnya beset tembus sampai Karawang.


Pada 9 Desember 1947, Belanda menghabisi penduduk Dusun Rawagede yang terletak di antara Karawang-Bekasi.


Peristiwa pembantaian penduduk sipil itu dikenang sebagai Pembantaian Rawagede dan telah dinyatakan sebagai kejahatan perang.


Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas kejadian pada tahun 1947 itu.


Jaksa pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kedaluwarsa.


Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2012 menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab.


Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. kompensasi berupa sejumlah uang masing-masing 1 miliar rupiah.


Sebelum tahun 1950, Bekasi, Cakung, dan Tambun merupakan bagian dari Jakarta (Batavia) dengan kabupatennya Jatinegara.


Namun pada tahun 1950, rakyat Bekasi menuntut untuk keluar dari distrik Jakarta dan menolak masuk ke Negara Pasundan yang merupakan Negara Boneka buatan Belanda.


Rakyat Bekasi menginginkan masuk ke Republik Indonesia Serikat.


"Makanya hari jadi Bekasi tanggal 15 Agustus 1950,"


Militansi yang bikin merinding prajurit Belanda “Para pejuang selalu mengatakan, Bekasi yang paling sulit ditembus. Belanda untuk menembus Bekasi dengan semua daya dan upaya, termasuk militernya yang paling kuat. Itu masih agak sulit menembus Bekasi,” kata Ali berdasarkan kesaksian para pejuang yang ia temui.


Pejuang Bekasi, sebut Ali, tak hanya sibuk bertahan. Mereka, bersama para tentara, kerap bergerilya melancarkan serangan sporadis terhadap penjajah. Apalagi, warga Bekasi dikenal sebagai kampungnya para “jawara”.


Rakyat melawan dengan senjata apa pun, namun utamanya golok. Senjata yang telah dipakai saban hari oleh orang Bekasi ini akhirnya menjelma ujung tombak peperangan dan kelak menjadi simbol Kabupaten Bekasi.


Sulitnya menundukkan Bekasi, lanjut Ali, bahkan membuatnya seolah-olah Neraka bagi para prajurit Belanda.


Ali mengklaim, ada istilah “Sindrom Bekasi” pada zaman itu ketika para prajurit Belanda pura-pura sakit agar tak dikirim berperang ke Bekasi.


Mereka ngeri dengan tingkat militansi para jawara dan tentaranya. “Lebih dari itu, orangtua-orangtua di Bekasi bahkan menghibahkan anaknya untuk masuk dalam pasukan tentara,” kata Ali, mengutip kesaksian Komandan Batalyon V Bekasi saat itu, Mayor Sambas Atmadinata.


“Yang bikin Mayor Sambas bangga, kalau anak Bekasi berjuang lalu meninggal di medan tempur, orangtuanya tidak menangis, karena anaknya meninggal sebagai syuhada, berjuang untuk kepentingan bangsa, negara, dan agama."


"Tidak ada tuntutan atau tangisan jika anaknya meninggal di medan tempur. Berbeda dengan di tempat lain,” kata dia.


Sebelum perjanjian Roem-Royen, ada perjanjian Linggarjati pada 1946 dan perjanjian Renville pada 1948.


Dikutip dari Sejarah Diplomasi di Indonesia (2018), perjanjian Renville merugikan Indonesia.


Wilayah kedaulatan Indonesia semakin kecil. Belanda yang diuntungkan lewat perjanjian Renville, pada akhirnya melanggar janji.


Pada 1 Desember 1948, Belanda secara sepihak tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville.


Buntutnya, pada 19 Desember, Belanda menyerang Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta.


Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.


Terlebih lagi, Belanda menangkap dan menawan sejumlah pimpinan Indonesia, termasuk Soekarno, Moh. Hatta, Haji Agus Salim, dan beberapa Menteri Kabinet Republik Indonesia yang tengah bertugas di ibu kota sementara, Yogyakarta.


Langkah Agresi Militer Belanda II dikecam dunia.


Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 4 Januari 1949 memerintahkan Belanda dan Indonesia menghentikan masing-masing operasi militernya.


Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB menegur Belanda, dan menuntut pengembalian seluruh petinggi Republik Indonesia beserta pemulihan pemerintahannya.


United Nations Commission for Indonesia (UNCI) membawa perwakilan kedua negara ke meja perundingan pada 17 April 1949.


Setelah melalui perundingan berlarut-larut, akhirnya pada 7 Mei 1949 dicapai persetujuan.


Persetujuan itu dikenal sebagai "Roem-Royen Statements" atau Perundingan Roem-Royen.


Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949.


Konfrensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah pertemuan antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang mewakili sejumlah Negara Boneka ciptaan Belanda di Kepulauan Indonesia


Pertemuan ini dilangsungkan di Den Haag, Belanda, mulai 23 Agustus hingga 2 November 1949.


Ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan dan peperangan antara Indonesia dan Belanda yang telah lama terjadi dan banyak menelan korban jiwa di kedua belah pihak.


Walau Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda masih berupaya menguasai Indonesia.


Sebelum KMB, tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia telah dilaksanakan sebagai upaya penyelesaian konflik perang.


Ada pun pertemuan itu adalah:


Perjanjian Linggarjati pada 1947


Perjanjian Renville pada 1948


Perjanjian Roem-Royen pada 1949.


Pada 18 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II terhadap Indonesia, dan melanggar Perjanjian Renville yang telah disepakati bersama.


Sebelumnya, Belanda juga melancarkan Agresi Militer I sebagai pelanggaran Perjanian Linggarjati.


Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda


Dalam Konferensi Meja Bundar, Belanda bersedia untuk menyerahkan kedaulatan penuh kepada Negara Republik Indonesia Serikat.


Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.


Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda.


Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda.


Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:


1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.


2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.


3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949


—Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan


Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat.


Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian.


Tanggal penyerahan kedaulatan penuh oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.


Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan de facto Indonesia bermula pada tanggal 17 Agustus 1945.


Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi


Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami


Terbayang kami maju dan berdegap hati


Empat baris itu merupakan puisi karya Chairil Anwar yang berjudul:


Karawang-Bekasi


Puisi ini menunjukan harapan seorang Chairil terhadap perjuangan rakyat Bekasi yang tanah kelahirannya dibombardir dan dibakar oleh Sekutu dan Belanda.


(Red)

Komentar

Tampilkan

  • Sejarah Bekasi Front Garis Depan Pertahanan Tentara Republik Melawan Tentara Sekutu Pada Perang Kemerdekaan
  • 0

Kabupaten